Tugas kelompok : X (Sepuluh)
Nama Dosen : Muhammad Asrofy, S.Pd.I, M.Pd.I
Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam
JUDUL
MAKALAH
PERAN
WALISONGO DALAM PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
DISUSUN
O
L
E
H
KELOMPOK
X
v MASJAYA
v NURHIDAYATULLAH
v FATIHATUL
FAIDAH
v ERNI
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
|
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh,
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk
dan kemudahan kepada penyusun sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “PERAN WALISONGO DALAM PERADABAN ISLAM DI
INDONESIA.”
Makalah
ini dapat tewujud berkat adanya bantuan dari teman kelompok serta dari berbagai
pihak, oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
Dosen selaku pembimbing mata kuliah SEJARAH PERADABAN ISLAM dalam pembuatan makalah ini dengan penuh
kecermatan dan ketelitian.
Kedua orang tua tercinta yang selalu membimbing dan
memberikan do’a restunya.
Seluruh staf perpustakaan Universitas Muhammadiyah yang
telah memfasilitasi buku-buku sumber acuan pembuatan makalah ini.
Semua teman-teman kelas IV.C yang telah memberikan semangat
dan dorongan kepada penyusun dalam penyelesaian makalah ini.
Semua
pihak yang terlibat dalam penyelesaian penulisan makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami siap
menerima kritik dan saran yang sipatnya membangun dalam guna perbaikan dan
penyempurnaan penulisan makalah berikutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kelompok kami dan
teman-teman, serta pemerhati pendidikan pada umumnya, dan ini merupakan wujud sebuah pengabdian kami kepada
Allah SWT.
Makassar 03 mei 2014
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………..……………….…….i
DAFTAR
ISI………………………………………..………...…………ii
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar
belakang……………………………..……………………..……1
b. Rumusan
Masalah………………………….…………………………1
c. Tujuan…………………………………….…………………………….2
BAB II PEMBAHASAN
a.
Peranan Wali Songo dalam Peradaban Islam di Indonesia…….3
b.
Wali Songo dan Dakwah Islam…………………………………..…3
c. Model Penyebaran
Islam Wali Songo ………………….……..…..7
d.
Kemajuan Islam Periode wali Songo…………………………...….8
BAB III PENUTUP
a. Kesimpulan……………………………….………..………..……9
b. Saran………………………………………………………………..9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Islam
tersebar keseluruh penjuru dunia dengan cepat. Dalam waktu ± 23 tahun, islam
sudah tersebar ke seluruh jazirah arabia berkat dakwah nabi Muhammad SAW.
Cepatnya penyebaran islam itu tidak berarti bahwa dakwah yang dilakukkan nabi
berjalan mulus begitu saja. Banyak halangan dan rintangan berat yang dihadapi beliau
dari kaum kafir Quraisy. Semenjak Rasulullah meninggal, banyak sahabat beliau
yang melanjutkan dakwah dan menyebarkan agama islamke seluruh penjuru dunia. Begitupun
di Indonesia, agama Islam masuk melalui perdagangan oleh pedagang asal India.
Pada
abad 15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis
dan dakwah hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang
pantai Utara. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid
pertama di tanah Jawa, Masjid Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai
peran besar dalam menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa. Walisongo berasal
dari keturunan syeikh ahmad bin isa muhajir dari hadramaut. Beliau dikenal
sebagai tempat pelarian bagi para keturunan nabi dari arab saudi dan daerah
arab lain yang tidak menganut syiah.
Penyebaran
agama Islam di Jawa terjadi pada waktu kerajaan Majapahit runtuh disusul dengan
berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut merupakan masa peralihan kehidupan
agama, politik, dan seni budaya. Di kalangan penganut agama Islam tingkat atas
ada sekelompok tokoh pemuka agama dengan sebutan Wali. Zaman itu pun dikenal
sebagai zaman “kewalen”. Para wali itu dalam tradisi Jawa dikenal
sebagai “Walisanga”, yang merupakan lanjutan konsep pantheon dewa Hindhu yang
jumlahnya juga Sembilan orang. Adapun Sembilan orang wali yang dikelompokkan sebagai pemangku
kekuasaan pemerintah yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan
Gunung Jati.
B. Rumusan
Masalah
a.
Peranan Wali Songo dalam Peradaban Islam di Indonesia.
b.
Bagaimana Model Penyebaran Islam Wali Songo?
c.
Bagaimana Kemajuan Islam Periode wali Songo?
B. Tujuan Penulisan
a.
Mengetahui dengan jelas peranan Wali Songo dalam peradaban Islam di Indonesia.
b. Memenuhi
tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Peranan Wali Songo dalam Peradaban Islam di Indonesia.
Ada sembilan ulama yang sangat berjasa
dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Mereka dikenal dengan sebutan “Wali
Songo” Wali Songo mengambangkan agama Islam menjelang dan setelah runtuhnya
kerajaan Majapahit, atau sekitar abad ke-14 sampai abad ke-16. Dalam Babad
Tanah Jawi dikatakan bahwa dalam berdakwah, para Wali ini dianggap sebagai
kepala kelompok mubaligh untuk daerah penyiaran tertentu. Selain dikenal
sebagai ulama, mereka juga berpengaruh besar dalam kehidupan politik
pemerintahan. Karena itu, mereka diberi gelar “Sunan” (Susuhunan; junjungan)
gelar yang biasa digunakan untuk para raja di Jawa.
B. Wali Songo dan Dakwah Islam
Dalam menyiarkan Islam, Wali Songo
tidak hanya akrab dengan masyarakat umum, tetapi juga dengan penguasa kerajaan.
Ketika menyiarkan Islam, mereka menggunakan berbagai bentuk kesenian
tradisional masyarakat setempat. Mereka menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalam
kesenian tersebut. Karena itu, upaya mereka terasa tidak asing dan sangat
komunikatif bagi masyarakat setempat. Usaha ini membuahkan hasil, tidak hanya
mengembangkan agama Islam, tetapi juga memperkaya kandungan budaya Islam.
1. Sunan Gresik atau Syiekh Maulana Malik Ibrahim
Beliau juga dikenal dengan sebutan
syiekh Magribi, karena ia diduga berasal dari wilayah Magribi (afrika Utara).
Ia diperkirakan lahir sekitar pertengahan abad ke-14. Ia berasal dari keluarga
muslim yang taat, dan belajar agama sejak kecil. Meskipun demikian, tidak
diketahui siapa gurunya hingga ia kemudian mejadi seorang ulama.
Sunan Gresik merupakan pelopor
penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia berdakwah secara intensif dan bijaksana.
Sunan Gresik bukanlah orang Jawa, tetapi ia mampu beradaftasi dengan masyarakat
setempat. Upayanya untuk menghilangkan sistem kasta pada masyarakat pada masa
itu merupakan dakwahnya. Namun sumber lain mengatakan bahwa jauh sebelum Sunan
Gresik datang ke Pulau Jawa, sudah ada masyarakat Islam di daerah Jepara dan
Leran. Cita-cita dan perjuangannya menyebarkan Islam di Jawa dilanjutkan oleh
anaknya, Sunan Ampel.
2. Sunan Ampel
Ia memulai dakwahnya dari sebuah
pesantren yang didirikan di Ampal Denta (dekat Surabaya). Oleh karena itu, ia
dikenal sebagai pemimbina pondok pesantren pertama di jawa Timur. Suna Ampel
merupakan putera dari Sunan Gresik yang meneruskan perjuangan Sunan Gresik
menyiarkan Islam di tanah Jawa. Ia dikenal dengan Wali yang tidak setuju
terhadap adat-istiadat masyarakat Jawa pada masa itu. Misalnya, kebiasaan
mengadakan sesaji dan selamatan. Namun para wali lain berpendapat bahwa hal itu
tidak dapat dihilangkan dengan segera. Mereka mengusulkan agar adat-istiadat
semacam itu lebih baik diberi warna islami. Akhirnya, Sunan Ampel setuju
walaupun ia tetap khawatir kalau hal itu akan berkembang menjadi Bid’ah. Ajaran
Sunan Ampel yang terkenal adalah “Falsafah Moh Limo” atau “tidak Mau Melakukan
Lima Hal”.
1. Moh Main atau Tidak mau berjudi.
2. Moh Ngombe atau Tidak minum-minuman
keras (mabuk-mabukan)
3. Moh Maling atau Tidak mencuri.
4. Moh Madat atau tidak mau menghisap
candu, ganja, dan lain-lain.
5. Moh Madon atau Tidak berzina.
3. Sunan Giri atau Raden Paku
Ia merupakan putra dari Maulan Ishak.
Ia sempat diadopsi oleh Nyai Ageng Pinatih ketika masih bayi dan sempat diberi
nama joko Samudro; karena Raden Paku ditemukan di tengah Selat Bali.
Sunan Giri sempat mondok di Pesantren
Ampel Denta milik Sunan Ampel sebelum memperdalam ilmu di Pasai, tempat Maulana
Ishak menyiarkan Islam.
Sekembalinya ke tanah Jawa, Sunan Giri mendirikan pesantren di daerah Giri. Ia juga banyak mengirim juru dakwah ke Bawean, bahkan juga ke Lombok, Ternate dan Tidore di Maluku.
Sekembalinya ke tanah Jawa, Sunan Giri mendirikan pesantren di daerah Giri. Ia juga banyak mengirim juru dakwah ke Bawean, bahkan juga ke Lombok, Ternate dan Tidore di Maluku.
4. Sunan Bonang atau Syiekh Maulana Makdum Ibrahim
Cara penyebarannya ialah menyesuaikan
diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang menggemari Wayang dan Musik
Gamelan. Untuk itu, ia menciptakan gendang-gending yang memiliki corak keislaman.
Sunan Bonang yang bernama asli Syiekh
Maulana Makdum Ibrahim ini pernah belajar agama di Pesantren Ampel Denta dan di
Pasai bersama Sunan Giri. Sekembalinya dari Pasai, ia memutuskan untuk
memusatkan kegiatan dakwahnya di Tuban dengan mendirikan Pesantren. Ia wafat di
Tuban pada tahun 1525.
5. Sunan Kalijaga atau Raden Said putra Adipati Tuban
Ia dikenal sebagai budayawan dan
seniman. Nama aslinya adalah Raden Said putra Adipati Tuban yaitu Temenggung
Wilatikto. Ia menciptakan anak cerita wayang yang bernafaskan islami. Ia juga
menciptakan wayang kulit dan wayang beber. Dan ia juga pencipta dari lagu daerah
Jawa yang berjudul Lir-Ilir.
Sebelum mempelajari agama islam lebih
dalam, ia adalah seorang perampok. Namun yang ia rampok bukanlah rakyat jelata,
melainkan para penarik pajak yang meminta pajak dengan kekerasan dan sangat
mencekik kehidupan masyarakat setempat. Ia pun sempat diusir dari Tuban, dan
pergi ke hutan Jatiwangi. Di sana ia dikenal dengan sebutan Brandal Lokajaya. Ia
mendapat gelar sunan Kalijaga karena ia sempat disuruh menjaga sungai (bertapa)
selama tiga tahun. Ia adalah murid dari Sunan Bonang. Ia juga menciptakan
berbagai macam alat musik seperti Gamelan dan Bedug untuk media dakwahnya.
6. Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq
Ia adalah putra dari Raden Usman Haji
yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Untuk melancarkan penyebaran
islam, Sunan Kudus membangun sebuah masjid di daerah Loran pada tahun 1549 M.
Masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar. Wilayah di sekitarnya
disebut Kudus, merupakan nama yang diambil dari dari nama Kota al-Quds
(Yarusalem) di Palestina, yang pernah ia kunjungi. Masjid itu kemudian dikenal
dengan nama Masjid Menara Kudus karena di sampingnya terdapat menara tempat
duduk masjid.
Sunan
Kudus atau Ja’far sadiq digelari wali al-‘ilmi (orang berilmu luas) oleh para
wali songo karena memiliki keahlian khusus dalam bidang agama. Karena keahlian
nya itu, ia banyak didatangi para penuntut ilmu dari berbagai wilayah. Ia juga
dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus. Karenanya, ia
menjadi pemimpin agama sekaligus menjadi pemimpin daerah.
Ia berdakwah menggunakan strategi
pendekatan pada masyarakat setempat. Ia membiarkan duklu adat-istiadat dan
kepercayaan masyarakat setempat yang sulit dirubah, namun bagian adat yang
tidak sesuai islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan. Ia menghindari
konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan islam. Strategi dakwah ini juga
diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, dan Sunan Gunung
Jati.
7. Sunan Drajad atau Raden Qosim
Ia merupakan putra dari Sunan Ampel
dan Dewi Condrowati. Dalam catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut
dengan seorang wali yang hidupnya paling bersahaja, walaupun dalam urusan dunia
ia juga sangat rajin mencari rezki. Adapun ajaran Sunan Drajad yang terkenal
adalah
ü
Menehono teken marang wong kang wuto (Berikanlah tongkat
pada orang buta)
ü
Menehono mangan marang wong kang luwe (Berikanlah makanan
pada orang yang lapar)
ü
Menehono busono marang kang mudo (Berikanlah pakaian pada
orang yang telanjang)
ü
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan (Berikanlah
tempat berteduh pada orang yang kehujanan)
Ia
berdakwah di daerah Drajad dan meninggal di daerah itu juga. Makamnya berada di
desa Drajad, kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.
8. Sunan Muria atau Raden Umar Syaid
Ia adalah putera sunan Kalijaga dan
Dewi Saroh. Ia dikenal sebagai seorang anggota Wali Songo yang mempertahankan
kesenian Gamelan sebagai media dakwah yang ampuh untuk merangkul masyarakat
Jawa. Selain dengan kesenian, ia juga berdakwah dengan cara memadukan adat
setempat dengan warna islami. Adapun adat setempat yang dipadukan dengan warna
islami adalah sebagai berikut:
Selamatan
ngesur tanah (kenduren setelah ngubur nayat)
Nelung
dinani (kenduren setelah 3 hari mengubur mayat)
Mitung
dinani (kenduren setelah 7 hari ngubur mayat)
Matang
puluh, nyatus dino, Mendhak pisan, mendhak pindo, dan nyewu.
9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Nama aslinya adalah Syarif
Hidayatullah. Pada usia 20 tahun dia berguru pada Syiekh di daratan Timur
Tengah. Setelah selesai menuntut ilmu, pada tahun 1470 dia berangkat ke tanah
Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Istrinya yang pertama adalah Nyai Babadan,
wanita itu dinikahi pada tahun 1471. Dia adalah putri dari Ki Gedeng Babadan. Perkawinannya
dengan Nyai Babadan ini tidak dikaruniai seorang anak pun, lalu pada tahun
1475, ia kawin lagi dengan Nyai Kawungten, adik dari Bupati Banten.
Ia sempat menikah dengan Syarifah
Baghdad, yang merupakan adik dari Syiekh Abdurrahman. Namun dari sekian banyak
istrinya, Sunan Gunung Jati pernah menikah dengan putri cantik dari daratan
Cina, Ong Tien. Sekitar tahun 1479, ia pergi ke Cina. Di sana ia membuka
pengobatan sambil berdakwah. Ia mendapat gelar Maulana Insanul Kamil.
C. Model
Penyebaran Islam Wali Songo
Secara umum Wali Songo menyiarkan
Islam dengan memadukan budaya setempat sebagai media dakwah. Mereka membiarkan
budaya dan kepercayaan masyarakat setempat yang sulit dirubah. Namun bagian
adat yang mudah dirubah, maka dengan segera mereka menghilangkannya. Mereka
melakukannya karena menghindari konfrontasi dengan masyarakat secara langsung.
Dan tentunya mereka melakukan hal itu agar mudah berkomunikasi dengan
masyarakat, dengan cara itu masyarakat bisa dengan mudah menerima mereka dan mengamalkan
apa yang diajarkan. Anggota Wali Songo yang memakai cara pendekatan itu
adalah
ü
Sunan Kali Jaga
ü
Sunan Bonang
ü
Sunan Muria
ü
Sunan Kudus dan
ü
Sunan Gunung Jati.
Sunan
Kali Jaga malah membiarkan masyarakat membakar kemenyan, dan ia juga sempat
menciptakan alat musik berupa Gamelan. Memang pada dasarnya hal ini termasuk
Bid’ah, namun jika tidak dengan cara ini masyarakat sangat sulit untuk
didekati.
D. Kemajuan Islam
Periode wali Songo
Selama menyiarkan agama Islam, Wali
Songo banyak mengalami hambatan. Ada fitnah, dan budaya setempat yang sulit
dirubah. Namun dengan kesabaran dan tekat yang kuat, akhirnya sebagian
masyarakat Jawa masuk Islam meskipun tidak sedikit yang melakukan bid’ah. Hal
itu bagi Wali Songo bukanlah masalah besar. Dan mereka meyakini suatu saat
nanti akan ada orang yang dapat menghilangkan budaya masyarakat setempat yang
tertmasuk bid’ah.
Permasalahan yang cukup terkenal
sampai saat ini mengenai wali Songo adalah perkara Syiekh siti Jenar. Ia adalah
seorang ahli agama dari Persia. Ia mengaku dirinya adalah Allah. Para wali
sangat menentangnya, dan memutuskan hukuman mati bagi syiekh siti Jenar.
Meskipun Syiekh Siti Jenar mati, namun ajarannya tetap menyebar. Bahkan ia sempat
mempunyai banyak murid. Sebelum Syiekh Siti Jenar dihukum mati, ia sempat
mengeluarkan ancaman kepada para Wali. Dan ancaman itu pun benar terjadi, di
Mataram 6000 ulama Sunni dibantai oleh Sunan Amangkurat I.
Pertentangan antara faham Manunggaling
Kawula Gusti memang terus berlangsung. Para pendukung siti Jenar tetap berusaha
mendiskreditkan para Wali, bahkan hingga zaman modern ini. Namun di balik itu semua, usaha Wali Songo
dalam menyiarkan agama Islam membuahkan hasil yang luar biasa, hingga dapat
kita rasakan sampai saat ini. Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia
memengaruhi kebudayaan Islam bangsa Indonesia. Akulturasi dengan budaya
sebelumnya membuat budaya islam makin diminati masyarakat. Dan salah satu
dampak yang muncul adalah berdirinya kerajaan-kerajaan yang bercorak islam,
antara lain Kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak, Pajang, Mataram Islam,
Cirebon, Banten, Makasar, Ternate, dan Tidore.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wali Songo adalah kelompok ulama yang
brejumlah sembilan orang. Mereka menyiarkan agama Islam di tanah Jawa. Selain
itu, mereka juga berpengaruh besar dalam kehidupan politik pemerintahan. Adapun
nama-nama Wali Songo tersebut ialah sebagai berikut:
Sunan Gresik
Sunan Ampel
Sunan Giri
Sunan Bonang
Sunan Kalijag
Sunan Kudus
Sunan Drajad
Sunan Muria
Sunan Gunung Jati
Dalam
menyiarkan Islam mereka menggunakan kesenian dan budaya masyarakat setempat.
Sehingga masyarakat merasa tidak asing dan lebih komunikatif. Usaha ini
membuahkan hasil, tidak hanya mengembangkan budaya Islam, tetapi juga
memperkaya kandungan budaya Jawa.
B.
Saran
Saran yang kami sampaikan ialah sebagai berikut:
Saran yang kami sampaikan ialah sebagai berikut:
Dengan
mengetahui sejarah singkat Wali Songo, mari kita bersama-sama meningkatkan iman
dan taqwa kepa Allah SWT. Setelah mengetahui cara Wali Songo menyebarkan islam
pada umat islam terdahulu, marilah kita juga menyiarkan agama islam dengan cara
yang disenangi oleh masyarakat zaman sekarang.
Daftar Pustaka
Asnan
Wahyudi dan Abu Khalid, Kisah Wali Songo, Surabaya, Karya Ilmu,-
M.
B. Rahimsyah. AR., Sejarah Wali 9, Tuban, Yayasan Amanah,-
|